TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Rabu (8/11/2023).
Gugatan uji materiil ini diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023.
Menanggapi perkara itu, Ketua DPP Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi, meminta kepada hakim MK untuk segera menyelesaikan perkara tersebut.
Hal ini untuk mencegah adanya drama-drama jelang pemilu 2024.
“Kita berharap MK segera memutuskan (perkara) itu, tidak mengulur-ulur lagi supaya tidak drakor-drakornya (drama Korea) itu terjadi di MK berlanjut,” kata Baidowi itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Pria yang akrab disapa Awiek itu memastikan, pihaknya akan menghormati putusan MK nantinya.
Sebab itu, hakim MK diharapkan segera memutus perkara tersebut, agar tak menggangu tahapan pemilu.
“Nah, apa pun putusan MK besok tentunya kita hormati, meskipun kita yakini putusan MK itu berlaku progresif, berlaku ke depan, tidak ada berlaku ke belakang, kecuali MK ultra petita,” ujarnya.
“Apakah boleh, ya buktinya ketika MK memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyinggung soal usia 40 tetapi diperbolehkan sepanjang pernah menjabat atau sedang menjabat yang melalui proses pemilihan umum atau pilkada, itu kan ultra petita,” lanjutnya.
Kendati demikian, lanjut Awiek, pihaknya tetap menyerahkan kepada seluruh hakim MK, terkait penanganan uji materiil tersebut.
“Kalau kemudian MK berkreasi lain dengan keputusannya kalau pun itu menjadi sebuah norma putusan, ya kita harus hormati,” tandasnya.
Dalam permohonannya, Brahma menyoroti adanya persoalan konstitusionalitas pada frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Menurutnya, ada pemaknaan yang berbeda-beda yang menimbulkan ketidak kepastian hukum, yakni pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Selain itu, ia juga mempersoalkan terkait 5 hakim yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.
Terkait hal itu, secara rinci, ia menyebut, ada 3 hakim yang memaknai ‘pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Sedangkan, ada 2 hakim memaknai ‘berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan Gubernur’.
“Hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof. Manahan MP Sitompul),” tegas Brahma dalam permohonannya, dikutip Tribunnews.com, pada Kamis (2/11/2023).
“Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat ‘berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi’ (YM. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih) dan syarat ‘berpengalaman sebagai gubernur yang pada persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang’ (YM. Dr. Daniel Yusmic P Foekh),” sambungnya.
Brahma menilai, frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.
Tak hanya itu, Braha kemudian mengatakan, Putusan 90/PUU-XXI/2023 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.
“Bahwa hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia,” ucapnya.
Dalam petitum, Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109
Sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi”.
Sehingga bunyi selengkapnya “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi’,” demikian bunyi petitum Pemohon 141/PUU-XXI/2023.
Sebagai informasi, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding).
Hal tersebut diatur berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.