Tag: RUU Pemilu

Serahkan DIM RUU Pemilu, PPP Antisipasi Capres Tunggal

JawaPos.com – Pengaturan pemilihan presiden (Pilpres) menjadi satu hal yang penting dibahas dalam RUU Pemilu. Selain keserentakan waktu sebagai amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pengaturan pilpres juga harus mengantisipasi munculnya calon presiden tunggal.

Kata Anggota Komisi II Fraksi PPP Achmad Baidowi, jika mengacu pada pelaksanaan pilkada serentak dalam dua gelombang, fenomena calon tunggal naik signifikan. “Fenomena ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada pilpres,” ujarnya melalui pesan singkat, Selasa (10/1).

Kendati demikian dia menerangkan, jika pilpres hanya diikuti satu pasangan, proses pemungutan suara harus tetap dilakukan. Misalnya melawan kotak kosong dan kemenangan harus lebih dari 50 persen.

Merespon hal krusial tersebut, PPP lantas memasukkan pengaturan pilpres terkait calon tunggal ke dalam daftar inventaris masalah (DIM) yang akan diserahkan dalam minggu ini. “Dalam DIM, fraksi sudah mencantumkan kemungkinan munculnya pasangan capres tunggal,” ujar pria yang akrab disapa Awiek itu.

Selain itu, PPP mengusulkan syarat pengajuan pasangan capres adalah 25 persen kursi dan 30 persen suara hasil pemilu 2014. “Hal ini diperlukan untuk menghasilkan  koalisi pemerintahan yang kuat dalam konteks sistem presidensil,” pungkas anggota pansus RUU Pemilu itu. (dna/JPG)

PPP Usul RUU Pemilu Antisipasi Capres Tunggal

Jakarta – Anggota Pansus RUU Pemilu dari PPP Achmad Baidowi alias Awiek mengatakan salah satu pembahasan yang mungkin didiskusikan cukup serius dalam pembahasan RUU Pemilu adalah terkait pengaturan pemilihan presiden.

Dalam pekan ini, kata Awiek, jika tidak ada aral melintang, fraksi-fraksi akan menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM RUU pemilu.

“Salah satu pembahasan yang dimungkinkan untuk didiskusikan cukup serius adalah terkait pengaturan pilpres. Selain keserentakan waktu sebagai amanat dari putusan MK,pengaturan pilpres juga harus memgantisipasi munculnya capres tunggal,” ujar Awiek di Jakarta, Selasa (10/1).

Jika mengacu pada pelaksanaan pilkada serentak dalam dua gelombang, kata dia fenomena calon tunggal juga naik signifikan. Menurut dia, fenomena ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada pilpres.

“Karena itu, PPP dalam DIM fraksi sudah mencantumkan kemungkinan munculnya pasangan capres tunggal,” ungkap dia.

Lebih lanjut, dia mengatakan jikapun pilpres hanya diikuti satu pasangan, proses pemungutan suara tetap dilakukan, misalnya melawan kotak kosong dan kemenangan harus lebih dari 50 persen.

“Selain itu, PPP mengusulkan syarat pengajuan pasangan capres adalah 25 persen kursi dan 30 persen suara hasil pemilu 2014. Hal ini diperlukan untuk menghasilkan koalisi pemerintahan yang kuat dalam konteks sistem presidensil,” pungkas dia.

 

Source : http://www.beritasatu.com/nasional/408579-ppp-usul-ruu-pemilu-antisipasi-capres-tunggal.html

Ini Solusi PPP Penuhi Kuota 30 Persen Caleg Perempuan


JPNN.com | JAKARTA – Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus mencari formula agar kuota 30 keterwakilan perempuan di parlemen bisa tercapai dalam Pemilu 2019.

Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu dari Fraksi PPP, Achmad Baidowi mengatakan untuk memaksimalkan keterlibatan perempuan dalam parlemen, PPP mengusulkan agar kuota 30 persen calon legislatif di nomor urut 1 diberikan kepada perempuan.

“Ini sejalan dengan ketentuan afirmasi bagi perempuan yang sudah tertuang dalam UU parpol,” kata Awi, sapaan Baidowi di kompleks Parlemen Jakarta, Senin (5/12).

Selain itu, kata Wasekjen DPP PPP tersebut, ketentuan ini sekaligus menyempurnakan UU Pemilu sebelumnya maupun PKPU yang mengatur susunan daftar caleg dengan komposisi sekurang-kurangnya satu perempuan di antara tiga caleg.

Untuk tahap awal, kewajiban menempatkan 30 persen perempuan dalam daftar caleg bisa dimulai untuk dapil DPR RI.

Dari 78 daerah pemilihan (Dapil) yang direncanakan pada Pemilu 2019, maka setidaknya 23 caleg perempuan ada di nomor urut satu di 23 dapil.

“Untuk merealisasikan gagasan tersebut, PPP berencana mengundang para aktivis politik perempuan, salah satu di antaranya yang tergabung dalam Maju Perempuan Indonesia (MPI) dan beberapa organisasi lainnya,” pungkas Anggota Komisi II DPR ini.(fat/jpnn)

Sumber : http://www.jpnn.com/read/2016/12/05/485262/Ini-Solusi-PPP-Penuhi-Kuota-30-Persen-Caleg-Perempuan-

Achmad Baidowi : Belasan Pasal RUU Pemilu Krusial Perlu Disinkronkan

KANALINDONESIA.COM : Anggota Komisi II DPR RI Achmad Baidowi menyatakan jika RUU Pemilu yang dibahas oleh DPR RI terdiri dari 500-an pasal, namun hanya 13 – 17 pasal yang krusial yang perlu disingkronkan. Diantara soal parpol pengusung Capres – cawapres, sistem pemilu, sengketa pemilu, parliamantery threshold (PT) antara 3,5 % hingga 7 %, penyelenggara Pemilu, dan keterwakilan perempuan. Khusus untuk parpol pengusung Capres merujuk ke hasil Pemilu 2014.
“Hanya saja Capres – Cawapres itu sesuai dengan Pasal 6 (1 dan 2) UUD NRI 1945, bahwa harus warga negara Indonesia (WNI) aseli. Bukan warga naturalisasi dan apalagi asing,” tegas Wasekjen DPP PPP itu dalam forum legislasi ‘Polemik RUU Pemilu Serentak 2019’ bersama mantan Komisioner KPU Dr. Chusnul Mar’iyah, dan pakar hokum tata negara Margarito Kamis, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (27/9/2016).

Karena itu kata Baidowi, tidak mungkin warga asing juga naturalisasi akan menjadi Capres – Cawapres, dengan hanya menjadi WNI dan mempunyai modal yang besar. Lalu, haruskah yang menjadi Capres dan Cagub misalnya kader parpol?

“Parpol itu terbuka dan fungsinya antara lain merekrut kader dari luar partai yang potensial sejalan dengan perkembangan demokrasi saat ini. Dimana figur yang berpotensi, mampu, dan berkapasitas menjadi pemimpin dan diterima rakyat, maka parpol bisa merekrut, dan itu tidak bertentangan dengan fungsi dan tujuan parpol sendiri,” ujarnya.

Tapi, kata Margarito, parpol yang sah mengikuti pemilu, maka berhak mengusung Capres, karena sudah sah menjadi peserta pemilu. “Saya tidak sepakat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga kalau ada 10 parpol atau berkoalisi, maka 10 parpol itu berhak mengusung Capres sendiri-sendiri. Maka, kalau ada parpol baru dilarang mengusung Capres, maka pemilu itu cacat konstitusi, maka suka tidak suka parpol baru berhak mengusung Capres,” tambahnya.

Hanya saja Margarito mempredikasi Pemilu serentak 2019 itu kalau tetap berlangsung akan rumit, khususnya mengenai teknis penghitungan suara antara caleg, capres, dan cawapres. Belum lagi dengan sistem tertutup, terbuka terbatas, atau terbuka murni. “Pilpres dipastikan dua putaran, karena tidak mungkin akan capres yang langsung mendapat suara 50 % plus satu. Juga tak mungkin dengan parpol yang mendapat suara terbanyak, otomatis suara capresnya terbanyak? Belum tentu,” kata Margarito.

Karena itu dengan Pemilu serentak itu menurut Margarito, harus memastikan system perolehan suaranya. Baik terkait caleg, parpol, dan capres. “Kalau tidak, maka Pemilu serentak ini akan semrawut, rumit, banyak masalah, belum lagi menangani sengketa pemilu; apakah ke MK, MA, Bawaslu, atau PTUN,” jelasnya.

Margarito menegaskan di Pemulu serentak 2019 nanti tak boleh ada pasangan capres tunggal, dan juga capres independen. “UU Pemilu jangan sampai membenarkan capres tunggal dan capres independen. Kalau pada 20 Oktober 2019 belum ada capres terpilih, maka harus ada aturan memberi kewenangan kepada MPR RI (darurat) untuk mereview keputusan MK yang melampaui kewenangan konstitusi itu. Nanti, MPR yang harus putuskan,” pungkasnya.

Sementara itu Chusnul Mar’iyah menilai jika Pemilu serentak ini menjadi tantangan parpol, yaitu capres – cawapres seperti apa yang bisa mempengaruhi suara parpol? “Apakah kader yang juga bandar, bandar, atau parpol juga menjadi bandar? Ini yang sulit. Belum lagi problem money politics, sengketa hasil pemilu. Pileg saja rumit, apalagi digabung dengan Pilpres,” tambah pengajar FISIP UI ini.

Karena itu dia mengusulkan PT itu 5 % agar sejak awal Parpol sudah bisa berkoaliasi. Lalu, penyelenggara pemilu (KPU) kata Chusnul, jangan sampai cara pandang pemerintah, DPR dan KPU sendiri siklus pemilu ini sebagai proyek sehingga penganggarannya sangat besar, sampai Rp 21 triliun. Karena itu memilih komisioner KPU pusat daerah itu harus benar-benar berkualitas dan professional, agar siap menggelar pemilu.

“Bahwa KPU dan parpol harus diperkuat, sehingga tidak perlu lagi membiayai parpol untuk membayar kadernya sebagai pengawas pemilu. KPU dan Bawaslu pun tidak perlu lagi membayar pengawas dan petugas lainnya di luar KPU,” ujarnya.

Sekarang ini kata Chusnul, Presiden dan Wapres-nya pedagang, menteri pedagang, dan 68 % anggota dan pimpinan DPR RI juga pedagang.

“Jadi, dengan KPU dan parpol yang lemah, maka bisa dususupi bandar dalam setiap siklus pemilu, dan membahayakan demokrasi serta mengancam kedaulatan bangsa ini. Untuk itu, dulu di KPU taka da satu pun tenaga asing terlibat pemilu temasuk di IT KPU,” pungkasnya.(ZAL)

http://kanalindonesia.com/achmad-baidowi-belasan-pasal-ruu-pemilu-krusial-perlu-disinkronkan/