Jakarta – Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan masuk dalam kolom agama di KTP. Wasekjen PPP Achmad Baidowi mengaku kecewa atas keputusan tersebut, namun menghargainya.
“Meskipun (kami) kecewa, putusan MK sifatnya final dan mengikat,” ujar Baidowi alias Awiek kepada wartawan, Rabu (8/11/2017).
Ada alasan di balik kekecewaan tersebut. Salah satunya terkait kemungkinan penyalahgunaan keputusan tersebut untuk tidak memeluk agama apa pun dengan dalih putusan MK tersebut.
Sila pertama Pancasila menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dasar ini, Awiek memandang seharusnya seluruh masyarakat di Indonesia harus memeluk agama resmi yang diakui di negara ini.
“Putusan MK itu mengagetkan, tapi itu sudah menjadi putusan yang harus dilaksanakan. Karena Indonesia adalah negara berdasarkan ketuhanan, seharusnya semua WNI memeluk agama resmi negara,” jelas dia.
Dengan putusan MK ini, Awiek khawatir penghayat kepercayaan di Indonesia semakin banyak jumlahnya. Putusan MK ini, menurutnya, juga dapat disalahgunakan.
“Yang jelas, nanti jumlah pengikut aliran kepercayaan semakin banyak menyebutkan di identitasnya. Bahkan bisa disalahgunakan oleh pemeluk agama untuk menghindari kewajiban ajaran agama bisa berdalih (berlindung) dengan identitas aliran kepercayaan,” sebut Awiek.
MK memutuskan hal di atas karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia. Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang putusan yang berlangsung di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11), menganggap, jika para penganut kepercayaan tidak boleh mengisi kolom agama di KTP, para penghayat kepercayaan akan mendapatkan perlakuan tidak adil.
“Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon. Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif,” ujar Arief dalam pertimbangannya. (Detik.com)