PAMEKASAN, NNC – Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Baidowi menjelaskan, alasan partainya menolak penetapan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD.
“Ada beberapa alasan mengapa PPP menolak dan terpaksa walk out saat Undang-Undang itu ditetapkan,” kata Baidowi saat menghadiri acara bincang santai tentang kontroversi MD3 yang digelar komunitas masyarakat dan mahasiswa di Kedai Baca 11-12 Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (24/2/2018) sore.
Salah satunya tentang adanya pasal penghinaan kepada anggota DPR, DPRD dan DPD di undang-undang itu.
Menurut Awik, sapaan karib politikus yang kini menjabat sebagai anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) XI Madura itu, anggota DPR merupakan wakil rakyat.
Tugasnya adalah menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Kritik dari rakyat kepada anggota DPR merupakan hal wajar, karena DPR sejatinya memang mengabdi untuk kepentingan rakyat.
“Jika DPR tertutup untuk dikritik, maka sejatinya adalah sama dengan membangun tembok tebal dengan masyarakat konstituennya,” ujar Awik.
Selain itu, yang juga sangat tidak masuk akal dalam Undang-Undang MD3 itu adalah pemanggilan anggota DPR yang terlibat kasus tindak pidana korupsi harus atas izin Presiden.
Menurut dia, ketentuan itu juga tidak masuk akal karena beberapa kasus kriminal tidak perlu izin, seperti penyalahgunaan obat terlarang narkoba, dan kasus tindak pidana korupsi.
“Sedangkan di MD3 yang ditetapkan itu, tercantum harus meminta persetujuan Presiden apabila ada anggota DPR yang hendak dipanggil aparat berwenang karena terlibat kasus kriminal itu,” ujar Awik.
Ketentuan lainnya yang dinilai bertentangan adalah kewenangan bagi lembaga legislatif dalam melakukan upaya paksa.
Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, ini menjelaskan, sebenarnya dasar pemikiran mengenai ketentuan itu adalah sebagaima terjadi pada kasus lembaga legislatif saat hendak meminta keterangan kepada anggota KPK.
Pada Pasal 73 ayat 3 Undang-Undang MD3 dijelaskan, dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya pada ayat (4) b juga dinyatakan, kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
Lalu pada ayat (5) dinyatakan, bahwa dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
“Jadi alasan-alasan itu yang menyebabkan PPP tidak mendukung dan memilih walk out saat undang-undang tersebut disahkan,” katanya, menjelaskan.
Awik menjelaskan, undang-undang ini memang belum ditandatangani oleh Presiden RI dan masih memiliki peluang untuk diubah.
Caranya apabila ada gerakan dari masyarakat untuk melakukan revisi, atau ada Perutan Pengganti Undang-Undang yang dikeluarkan oleh presiden.
“Kalau PPP sendiri menyuarakan hal ini jelas tidak bisa, karena partai yang mendukung MD3 lebih banyak,” katanya, menambahkan.
Bincang santai tentang kontroversi UU MD3 yang digelar oleh Komunitas masyarakat dan mahasiswa Pamekasan ini, juga dihadiri sejumlah anggota DPRD di Kabupaten Pamekasan, Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi) dan perwakilan organisasi profesi wartawan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan. (NETRALNEWS.com)